Pagi itu mentari masih malu-malu menyinarkan cahayanya. Dengan mata yang berat gue coba bangkit dari pembaringan. Sejurus kemudian gue liat hp sebentar. Gue ga percaya sama apa yang telah gue lihat. Karenanya hampir seharian gue rada ga fokus.
Sore hari, saat gue lagi arah pulang narik, kepikiran buat nelpon teman gue dari sejak SD. Orang yang udah sering dengerin curhatan gue.
Gue curhat tentang something yang gue rasakan ke seseorang(cailah). Sesuatu yang baru beberapa belakangan ada. Tapi ga berani buat bilang dan.. karena faktor lainnya.
Ceritalah panjang kali lebar kali tinggi. Walau ga bisa jadi ruang bangun. Ada juga cerita yang belum pernah diceritakan sebelumnya. Ya intinya masalah yang beberapa orang curhat ke gue juga. Asmara. Wkwkwk. Fakir asmara yang seolah pakar :(.
Teman gue memberi nasehat dengan contoh kejadian nyata dan berdasarkan pengalaman hidupnya pas zaman sekolah juga.
Di tengah obrolan itu, gue menyadari sesuatu yang terlupa.
Ikhlas.
Sebuah bentuk penyerahan atas segala sesuatu yang telah diusahakan dan kadang emang ga sesuai kenyataan.
Sepertinya semenjak gue lulus SMA, kalau ada sesuatu yang tidak seharusnya terjadi atau tidak direncakan gue pengennya marah-marah aja. Ga bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, rencana yang tidak sesuai itu sendiri bagian dari hidup yang tak bisa dilewati. Layaknya cerita fiksi.
Dari berakhirnya obrolan di telepon itu juga, gue harus menerapkannya kembali dalam kehidupan sehari-hari. Ga bisa langsung bisa. Latihannya juga setiap hari.
0 comments:
Post a Comment