Monday, July 4, 2022

Kehidupan SMA dan Slow Living



Kenangan anda, 6 tahun yang lalu


Google foto memberi notifikasi pengingat kenangan dengan foto yang gue samar-samar ingat rasanya seperti apa. Pemberitahuan itu gue klik untuk membukanya. 


***


Gue menyandarkan tangan ke dinding pembatas lantai dua gedung sekolah. Angin berhembus mesra menyibak rambut yang mulai agak panjang. Teman-teman ramai berkumpul di luar kelas. Hari itu, masih dalam rangka pekan-pekan terakhir menuju ujian nasional. 


Samar-samar teringat di benak, raut wajah teman-teman SMA yang berkumpul di luar kelas itu terbagi menjadi beberapa hawa. Kelompok pertama adalah si optimis dan tanpa khawatir terhadap ujian-ujian terakhir yang akan dihadapi. Mereka tersenyum dengan bahagia. Kelompok kedua adalah yang tidak terlalu optimis tapi tetap realistis. Sedang kelompok teman terakhir adalah yang hawanya netral. Mungkin bisa dikategorikan sebagai penganut yang penting lulus. Dan, ternyata hari-hari terakhir di SMA yang ingin cepat diselesaikan karena bayangan bisa kerja dan beli ini-itu adalah waktu yang hari ini lebih sering dikenang daripada fase hidup yang lain. 


Karena... Saat SMA, secara ga sadar gue mempraktekkan apa yang orang-orang hari ini sebut sebagai Slow Living


Slow Living tuh apa dip? Pasti leha-leha rebahan seharian ya? 


Bukan. Secara sederhana, Slow Living adalah gaya atau cara hidup untuk menikmati semua momen yang ada tanpa mengkhawatirkan terhadap segala sesuatu yang belum pasti terjadi. 

Di SMA, yang gue pusingkan hanya memang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan tanpa ada hal-hal lain kaya keuangan apalagi percintaan. 

Selama 3 tahun tersebut, gue merasakan menjalani hari-hari dengan penuh kesadaran tanpa pusing masa depan. Besok ada PR pelajaran pertama tapi ga sempat ngerjain? Bangun pagi, kita kerjain jam 6 di kelas! Hahaha. Padahal PR-nya matematika pula. 

Ditolak gebetan yang jadi rebutan? Ga masalah. Deketin yang laen! 

Diomelin guru sampai dihukum push up karena ga bisa jawab pertanyaan di papan tulis? Gapapa. Namanya juga hidup. Hitung-hitung olahraga biar ganteng sehat. 

Saat SMA, gue berani banget buat memutuskan berjualan nasi kepal (Onigiri)  keliling ke kelas-kelas tanpa peduli perhitungan untung-ruginya gimana. Yang penting biasakan diri buat nambah cuan dan jajan tambahan. Entah antara bodoh atau masih terlalu polos. Gue nothing to lose aja saat berjualan di SMA. 

Bisa punya kenalan, teman, dan beberapa teman dekat dari seangkatan. Pecicilan ikut OSIS, Pramuka, dan Paskibraka. Seru banget kalau diceritain mah. 

Bisa dibilang, menjalani kehidupan sebagai siswa SMA di SMAN 6 tangerang itu adalah bagian terbaik di kehidupan remaja gue. Maksimal bertumbuh dan berkembang. 

Sekarang, gue lagi mengalami hal yang kebalikan dari apa yang dirasakan saat SMA. Bawaannya resah aja gitu. Apalagi ngomongin keuangan di masa depan. Sampai-sampai gue rasa ini salah satu penyebab akhirnya harus pergi ke Psikiater. Tapi, tentu saja gue ga bisa terus begini. Gue coba membiasakan diri untuk terbiasa lagi dengan gaya atau cara hidup Slow Living


Kalo kata urang Sunda mah:


Kumaha Engke Wae lah. Cukup rencanakan, jalani, dan maksimalkan. 


continue reading Kehidupan SMA dan Slow Living